Graeme Turner mengatakan bahwa iklan tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain. Iklan mengkontruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos dan ideologi-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikansi yang khusus dari medium (Irawanto, 1999
: 14).
: 14).
“A: aku sih gak setujuuuuu ya mbakk,, gak setujuu bangett, soalnya apa ya mbak,, kayaknya mereka itu Cuma bener-bener milihh,, apa yaa, ya emang bener kalo buat iklan itu harus yang baik sih,, yang bisa bikin orang tertarik, tapi ya gak usah yang oh kamu harus putih dulu, rambut kamu harus panjang dan lurus dulu, jadi ya gak perlu gitu,, ORANG KAN juga beda-beda , nanti persepsinya orang kan malah, aduh brarti aku harus merubah aku dulu, aku harus putih dulu, aku harus cantik dulu, rambutku harus lurus dulu biar aku bisa masuk tv ato biar bisa masuk iklan, jadi kayak yang sekarang-sekarang ini banyak ditampilin di iklan kalo yang kayak gitu itu bisa bikin minder gitu kan mbak,,” (transkrip wawancara)
Informan A menyatakan bahwa apa yang ditampilkan bukanlah merupakan sebuah realitas yang sebenarnya. Hal ini mendukung pula pernyataan yang dikeluarkan oleh Turner dalam Irianto bahwa iklan hanya mengkontruksi dan “menghadirkan kembali” gambaran dari realitas. Selain itu, kode-kode yang dinilai ada dalam masyarakat dan diakui oleh publik yang merupakan hasil dari konsensus juga tidak disetujui oleh informan A.
Iklan memang tidak dapat mempengaruhi masyarakat untuk merubah sikapnya secara langsung, namun apa yang ada dalam Iklan mampu mempengaruhi apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Iklan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang suatu kejadian atau fenomena yang dianggap penting. Pengaruh itu kemudian disaring, diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada (Jeffkins, 1996:14).
“B: Kalo buat aku, modelnya kan banyak itu ya biasnya pake yang putih – putih, rambutnya panjang dan lurus, sebenernya itu sih bukan cantik apa ya, bukan Indonesia lah, kalo di Indonesia sendiri kan memang luas, dari ujung barat sampai ujung timur, nah mungkin yang bagian barat memang putih, tapi yang diujung timur seperti kami ini tidak mungkin menjadi putih, itu mustahil, dari segi geografis saja memang tidak mungkin kami bisa menjadi putih karena air di daerah timur lebih banyak mengandung garam jadi untuk kami tidak mungkin bisa menjadi lebih putih, lagipula itu juga genetik, jadi rambut ya semua sama seperti ini keriting, kalau mau lurus ya direbonding, tidak hanya pakai shampo. Mending kalo memang iklannya itu untuk tertentu saja yang cocok lebih diperjelas lagi, kalo misalnya juga untuk orang timur, setidaknya ada model yang mungkin berasal dari timur yang digunakan, ............... setidaknya buatlah variasi produk yang memang ada untuk kami yang berasal dari timur yang disesuaikan dengan cuaca di sana atau kadar air disana, supaya kami tau juga bahwa me-mang ada produk untuk kami, lebih baik lagi jika modelnya memang berasal dari Ambon atau dari timur supaya memang lebih jelas lagi,” (transkrip wawancara)
Senada dengan apa yang dinyatakan Jeffkins, diutarakan pula oleh Informan B bahwa pengaruh yang dibawa dalam iklan akan ditolak sesuai dengan faktor personal yang ada. Dalam hal ini Informan B menyatakan penolakan dengan realita yang diciptakan dalam iklan televisi karena faktor asal geografis tempat tinggalnya. Selain itu, dianggapnya Indonesia sebagai negara yang luas dengan berbagai macam karakter dan kelompok yang berbeda oleh informan juga membuatnya untuk mengakui penolakan atas realitas yang diciptakan oleh iklan. Jeffkins, 1996 menempatakan perspektif yang dinyatakan oleh informan B kedalam perpektif kedua yang dalam kerangka teoritis antara iklan dan masyarakat.
Pengalaman yang dimiliki oleh informan B selama ia tinggal di Surabaya yakni mulai dari tingkat perguruan tinggi hingga bekerja, membuat informan B merespon konsep kecantikan seperti yang diutarakan di atas. Selain itu, keaktifannya dalam organisasi seperti paduan suara gereja dan perkumpulan pemuda-pemudi Ambon membuatnya berpikir tentang keanekaragaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, pengalaman selama menempuh pendidikan di universitas dengan memiliki teman-teman keturunan cina membuat informan B memiliki pandangan yang berbeda dari aktifitas sosialisasi yang dimilikinya.
“... Yang kedua, perpektif kategori sosial yang berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada iklan tertentu dapat sama. Hanya saja, golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tempat tinggal dan keyakinan beragama memberikan perbedaaan dalam memahami sebuah iklan. ...” (Jeffkins, 1996: 15-17)
Yulianto 2007, juga mengungkapkan bahwa adanya iklan produk kecantikan yang menampilkan berbagai ‘realitas semu’ didalamnya juga memperparah kondisi masyarakat Indonesia yang terjerumus dalam ‘keajaiban’ yang diciptakan oleh iklan. Informan A dan Informan C, memperjelas apa yang dikatakan oleh Yulianto bahwa realitas semu memperparah kondisi masyarakat dengan pendapat yang dinyatakan oleh mereka bahwa keluarga dan teman-teman mereka dari Indonesia Timur terperangkap dengan realitas yang ditampilkan oleh iklan.
“A: kalo menurut aku,, cewek itu,,, ngakk harusss,,,, ehmmm,, merawat diri sh iya sihh,,, tapi nggak harus yang, sampai yang,, apa itu kann, kayak aku kan kalo pulang ke kupang sering digangguin sama temenku,, kan kamu uda di jawa masa nggak putih – putih,, ya IYALAH,, kulitku nggak cocok, makanya luluran kata temenku gituu,, Ngaapain luluran, ya apa adanya aja ya, aku luluran aja nggak putih- putih, ...”
“C: ya, kalo buat disana sih ya gak sesuai sih benere mbak, tapi yaaaa,, mau gimana lagi, sekarang ae kalo aku pulang ke Ambon ya mbak, mereka itu ya pada make kayak produk-produk perawatan gitu mbak, yo kayak pond’s, olay, ato apa gitu mbak yang lain, aslinya yo gak bagus sih mbak, tapi mereka sodara-sodaraku bilang ya pengen putih juga kayak yang ditv biar dibilang cantik. aslinya yo gimana yo, mau maksain kayak gimana juga kan kalo wes gitu dari lahir ya mau gimana, kan emang bukan yang asli putih tapi mau maksain putih, ya haruse sih bersih sama terawat ae itu cukup sih mbak, gak harus yang putih kayak di tv gitu.” (tranrskrip wawancara)
Namun, kesadaran akan apa yang ditampilkan oleh iklan merupakan relalitas semu dan mereka tidak mampu melakukan apa-apa karena sudah menjadi komoditas dan diterima secara global dan universal oleh masyarakat Indonesia Bahkan ejekan itu diterima oleh masyarakat karena memang apa yang ditampilkan dalam iklan merupakan hasil konsesus akan pesona kecantikan yang ada. (Yulianto, 2007: 6-11).
Informan A, mengalami hal yang sama apa yang dikatakan oleh Yulianto bahwa teman-temannya mengganggu dengan mengatakan bahwa dirinya tidak menjadi putih setelah pindah ke Jawa. Hal ini tentu saja menguatkan bahwa konstruksi konsep cantik yang ditampilkan telah membuat kesenjangan yang besar bagi mereka yang tidak memiliki bentuk tubuh dan warna kulit yang sama dengan apa yang ada dalam iklan. Bahkan perubahan yang dilakukan oleh informan A untuk membuat rambutnya menjadi lebih lurus telah mengikuti konsensus yang diciptakan oleh iklan tentang konsep kecantikan yang ada.
Sementara itu, Informan C, mengatakan bahwa konsensus tentang kecantikan dalam produk iklan adalah sebagaimana mestinya dengan yang diiklan sehingga mereka memaknai bahwa mereka berada dalam realitas semu namun mereka harus mampu menerimanya meskipun hal itu berbeda dengan kondisi mereka. Hal ini dapat dikarenakan informan C masih merupakan keturunan Portugis, sehingga secara fisik tidak menyerupai masyarakat dari Indonesia Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar