Harus diakui, proses pembentukan mahkamah ini 1 tahun yang lalu agak tersendat-sendat dan banyak menghadapi kendala. RUU tentang Mahkamah Konstitusi baru diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003. Pengisian jabatan 9 hakim konstitusi, masing-masing tiga orang dipilih oleh DPR, tiga orang oleh MA, dan tiga orang oleh Presiden, baru diselesaikan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden pada tanggal 15 Agustus 2003, dan keesokan harinya, Sabtu, 16 Agustus, 2003, kesembilan hakim mengucapkan sumpah jabatan di Istana Negara dengan disaksikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, persis 1 hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003 sebagaimana ditentukan oleh Aturan Peralihan Pasal III UUD yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk, segala kewenangan dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Sementara itu, MA, yang berdasarkan Aturan Peralihan tersebut melaksanakan kewenangan sementara MK, selama 1 tahun pertama sejak ditetapkannya Aturan Peralihan Pasal III UUD itu sampai terbentuknya MK, telah pula menerima sebanyak 14 perkara yang diajukan untuk pengujian undang-undang. Sampai MK dibentuk, ke-14 perkara tersebut belum diputus oleh MA.
Oleh karena itu, begitu diangkat, kami bersembilan benar-benar harus segera bekerja dengan memulai segala hal yang berkaitan dengan upaya pelembagaan dan pelaksanaan tugas-tugas konstitusional lembaga ini dengan bermodalkan hanya tiga lembar kertas, yaitu: (i) Undang-Undang Dasar, (ii) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, dan (iii) Keputusan Presiden tentang pengangkatan 9 hakim konstitusi. Namun demikian, sesuai amanat UUD, tugas konstitusional MK harus mulai dilaksanakan sebagaimana mestinya, dimulai dari titik nol sampai ke titik yang tidak terhingga sesuai cita-cita bangsa untuk mewujudkan prinsip Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sekarang, 1 tahun telah berlalu. Pada tanggal 13 Agustus 2004 lalu, Mahkamah Konstitusi telah menyelenggarakan acara perayaan satu tahun secara sederhana. Kami mengucapkan terima kasih Presiden Megawati Soekarnoputri telah berkenan hadir dan memberikan sambutan pada kesempatan tersebut. Kami juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih Pak Amien Rais selaku Ketua MPR dan Pak Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR berkenan pula hadir dalam acara sederhana yang menandai ulang tahun MK yang pertama tersebut. Pada hari ini, 23 September 2004, MK genap berusia 1 tahun 1 bulan.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan telah terbentuk lengkap dengan perangkat sistem aturan tata organisasi kesekretariatan dan kepaniteraan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Personalia kepegawaian telah mulai secara resmi ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga secara bertahap tidak lagi bersifat sementara dengan status sebagai plt (pelaksana tugas). Administrasi anggaran belanja juga sudah dikelola sendiri oleh Sekretariat Jenderal sesuai ketentuan UU. Lokasi tanah tempat gedung permanen MK akan segera dibangun juga telah diperoleh dan telah mendapatkan persetujuan semua pihak terkait, yaitu di Jl. Merdeka Barat No. 6.
Dari segi pelaksanaan tugas konstitusional MK, dua dari lima bidang kewenangan seperti dikemukakan di atas, telah berjalan sebagaimana mestinya sesuai amanat UUD, yaitu perkara pengujian undang-undang dan perkara perselisihan hasil pemilu.
Berkaitan dengan pengujian undang-undang, selama tahun 2003, Mahkamah Konstitusi telah menerima cukup banyak permohonan dari berbagai pihak yang mempersoalkan berbagai ketentuan undang-undang yang mereka nilai melanggar konstitusi. Namun, yang memenuhi syarat untuk diregistrasi dan diperiksa sebagaimana mestinya hanya tercatat 10 perkara, sehingga ditambah 14 perkara yang sebelumnya telah diregistrasi di MA, jumlah perkara pengujian undang-undang selama tahun 2003 sebanyak 24 perkara. Untuk tahun 2004, sampai dengan bulan September ini, jumlah perorangan, kelompok warga negara ataupun organisasi kemasyarakatan yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang makin bertambah banyak. Lebih dari 100 kasus telah diajukan oleh berbagai pihak dan dicatat sebagaimana mestinya di kepaniteraan. Nampaknya, semakin mahkamah ini dikenal dan dirasakan kegunaannya oleh masyarakat luas, semakin banyak pula tuntutan dan harapan yang dibebankan kepada MK. Namun, yang dinilai memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk diregistrasi secara resmi hanya 20 perkara.
Dengan demikian, selama 1 tahun 1 bulan sejak dibentuk sampai sekarang, jumlah perkara pengujian undang-undang yang resmi diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi sebanyak 44 buah perkara. Dari angka itu, sebanyak 22 perkara telah diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Sisanya 22 perkara lagi masih dalam proses pemeriksaan persidangan ataupun proses permusyawaratan. Sebagian terbesar di antaranya sudah siap untuk diputus dalam minggu-minggu dan bulan-bulan ke depan, sebelum akhir tahun 2004.
Sebagian terbesar, perkara pengujian undang-undang yang telah diselesaikan diputus dengan amar “Ditolak” atau dinyatakan “Tidak Dapat Diterima” (Niet Onvankelijk Verklaard). Hanya tiga perkara di antaranya diputus dengan mengabulkan permohonan pemohon. Pertama, perkara pengujian UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Dengan putusan yang mengabulkan tersebut, MK mengembalikan hak politik warga negara bekas anggota PKI dan organisasi terkait lainnya untuk dipilih melalui pemilu yang dijamin oleh UUD. Kedua, perkara pengujian undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang memberlakukan UU No. 15 Tahun 2003 secara retroaktif ke peristiwa Bom Bali tahun 2002. Dengan putusan yang mengabulkan tersebut, MK menyatakan UU No. 16 Tahun 2003 tersebut tidak mengikat untuk umum karena bertentangan dengan UUD. Namun, perlu diingat bahwa UU No. 16 Tahun 2003 berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2003. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme tetap berlaku mengikat untuk umum, sehingga tidak boleh ada keraguan bagi siapapun untuk menindak segala bentuk kejahatan atau tindak pidana terorisme sesudah periode berlakunya UU No.15 Tahun 2003 tersebut, termasuk untuk menindak para teroris yang bertanggung-jawab atas peristiwa peledakan Bom Kuningan baru-baru ini.
Ketiga, perkara pengujian undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dengan putusan yang mengabulkan ini, keseimbangan kepentingan di antara lembaga penyiaran dengan masyarakat konsumen dan lembaga negara lebih dimantapkan, dan kewenangan regulasi yang diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia dibedakan dengan tegas dari kewenangan Presiden/Pemerintah untuk menetapkan Peraturan Pemerintah dalam rangka menjalankan Undang-Undang seperti yang dimaksud dalam UUD. Ketiga putusan tersebut telah dimuat secara resmi dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tidaklah mudah bagi MK untuk mengabulkan sesuatu permohonan pengujian undang-undang, jika permohonan dimaksud tidak benar-benar berdasar dan undang-undang yang dipersoalkan tidak benar-benar terbukti bertentangan dengan UUD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar