ABSTRAK
Penelitian telah dilakukan tentang perpindahan kalor pada fluida air bersuspensi nano partikel yang bertujuan untuk mengukur koefisien perpindahan kalor yang terjadi didalamnya. Adapun
fluida
kerja
alternatif yang
dipakai
adalah nanopartikel Al2O3 yang terdispersi didalam fluida dasar
air oleh adanya
gerak Brownian yang lebih dikenal dengan nanofluida. Nanofluida ini merupakan fluida kerja yang dikatakan
cukup
handal
dalam
hal
perpindahan
kalor.
Sebelum
nanofluida ini diterapkan sebagai fluida kerja komersil dalam
aplikasi dibidang industri dan otomotif, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
menyempurnakannya. Oleh karena
itu pada penelitian ini digunakan suatu
alat uji radiator otomotif
yang dipasang pada sebuah terowongan angin. Pada alat uji
ini akan dilakukan proses perpindahan kalor
konveksi paksa antara
fluida kerja nano dan udara
sebagai
pendinginnya.
Pada
penelitian
lanjutan
ini
penulis
mendapatkan hasil penelitian yang mengindikasikan koefisien
perpindahan kalor konveksi nanofluida mengalami peningkatan sebesar 31-48% untuk
konsentrasi
1% dan peningkatan sebesar 52-79% untuk
konsentrasi 4% dari fluida dasarnya.
Kata kunci :
nano partikel, gerak Brownian ,
koefisien perpindahan kalor konveksi
PENDAHULUAN
Pemanasan
atau pendinginan fluida
adalah suatu kebutuhan utama didalam banyak sektor industri, termasuk transportasi, kebutuhan
di bidang energi
dan produksi serta bidang elektronika. Diketahui bahwa sifat-sifat termal dari fluida
kerja memegang
peran
yang
penting
didalam perkembangan
efisiensi
energi
peralatan perpindahan kalor. Tetapi, fluida perpindahan kalor fluida konvensional seperti air, ethylene glycol dan minyak mesin secara umum, memiliki
sifat-sifat perpindahan kalor yang sangat
rendah dibandingkan dengan
kebanyakan benda padat. Walaupun perkembangan dan riset terdahulu
dilakukan
berfokus
pada
persyaratan perpindahan kalor pada industri, peningkatan utama dalam kemampuan perpindahan kalor sangat kurang. Sebagai
akibatnya, suatu usaha dibutuhkan untuk mengembangkan suatu strategi
baru
dalam
meningkatkan
efektivitas perpindahan kalor dari
fluida konvensional tersebut.
Perkembangan
dewasa ini dalam
teknologi nano telah menciptakan suatu kelas fluida baru dan agak khusus, disebut nanofluida, yang muncul sebagai
fluida yang memiliki potensi
yang besar untuk aplikasi pendinginan
[1]. Istilah nanofluida berarti
dua campuran fase dimana fase yang kontinu biasanya
cairan dan fase yang terdispersi terdiri dari
nanopartikel
padat
yang
sangat
halus,
berukuran lebih kecil daripada 50 nm. Beberapa dispersi nanopartikel dari keperluan rekayasa
sebenarnya dibuat dan secara komersial tersedia
[2]. Telah
dibuktikan bahwa sifat-sifat termal dari campuran yang
terbentuk secara signifikan lebih tinggi daripada
fluida dasarnya [1].
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh para peneliti seperti studi mengenai implikasi
hidrodinamik dan perpindahan kalor dari slurry yang
dilakukan oleh Ahuja [3] dan Liu et.al [4]. Akan tetapi
dari penelitian tersebut,
slurry memiliki
permasalahan yakni terjadinya penyumbatan, adanya fouling (pengotoran) dan
adanya erosi pada komponen alat uji karena
adanya sifat abrasif partikel
serta terjadinya penurunan tekanan aliran.
Permasalahan diatas dikarenakan ukuran
partikel solid yang tersuspensi terlalu
besar sehingga terjadi penggumpalan.
Perkembangan teknologi
material telah mampu memproduksi partikel
dalam ukuran nanometer sehingga
diharapkan partikel yang dicampurkan dalam
fluida cair akan tersuspensi lebih
baik,
seperti dilakukan oleh
Choi
[5]
yang mencampurkan partikel CuO dan Al2O3 dalam ukuran
nanometer dengan
fluida cair diantaranya air dan ethylene. Dari hasil
penelitian
diperoleh
peningkatan
perpindahan kalor konduksinya sebesar 20%. Lalu Eastman, et.al [6] menyatakan dari hasil
penelitiannya diperoleh peningkatan sebesar
40%
pada
termal
konduktivitasnya hanya dengan
menambahkan 0.3% partikel Cu pada ethylene glycol.
Penelitian terhadap pengukuran termal konduktivitas dari nanofluida juga dilakukan oleh Lee, et.al [7] dengan menggunakan metode hotwire dihasilkan peningkatan
termal konduktivitas nanofluida sebesar
1%
-
10%
dengan penambahan 1% - 4% partikel
CuO dan Al2O3 dari volume campuran. Das, et.al
[8] menyatakan melalui penelitiannya bahwa nanofluida dengan campuran partikel Al2O3 memiliki
termal konduktivitas lebih tinggi
20%
dibandingkan
hanya menggunakan fluida dasar saja. Ini juga diprediksikan oleh Putra [9] dan
diperkuat dengan penelitian lanjutannya [10] yang menunjukkan
peningkatan
koefisien perpindahan kalor
sebesar 6% - 8% pada konsentrasi 1% - 4% dengan
range temperatur 40ºC – 60ºC.
Tujuan Penelitian
Mengingat penelitian ini mengkaji potensi nanofluida pada peningkatan
perpindahan kalor,
kemudian diharapkan diaplikasikan di bidang
industri. Pada proses konveksi ini dilakukan variasi konsentrasi volume partikel yang
dicampurkan 1% dan 4% serta variasi
laju
aliran
pendingin.
Adapun
tujuan
penelitian ini meliputi
pengukuran koefisien perpindahan kalor dari nanofluida dan membandingkan koefisien perpindahan kalor yang diperoleh dengan fluida
dasarnya dalam hal
ini
air
dan
mendapatkan
korelasi empiris koefisien perpindahan kalor fluida air dan nanofluida.
METODE PENELITIAN
Perpindahan Kalor pada Nanofluida
Perkembangan
penelitian
tentang
konduktivitas
termal nanofluida telah banyak dilakukan
oleh para peneliti terdahulu dan menunjukkan
bahwa nanofluida merupakan fluida
kerja
yang
cukup
handal dalam proses perpindahan kalor
konduksi. Choi (1995),
adalah
orang
pertama yang
menggunakan istilah
nanofluida yang menunjukkan fluida dengan nano partikel tersuspensi..
(Eastmann et.al 1997),
menunjukkan bahwa peningkatan
konduktivitas
termal
sekitar
60% dapat dicapai untuk nanofluida terdiri dari
air
dan
volume 5% nanopartikel CuO. Yimin Xuan dan Qiang Li (2000),
juga melakukan penelitian
tentang peningkatan perpindahan kalor
pada nanofluida. Mereka menjelaskan suatu prosedur untuk mempersiapkan nanofluida dengan menggunakan peralatan hot wire untuk mengukur konduktivitas termal nanofluida dengan nanopartikel
bubuk tembaga yang
tersuspensi.
Das,
et.al.
(2003),
melakukan
pengukuran
diffusivitas termal dan konduktivitas termal pada nanofluida dengan nanopartikel
Al2O3 atau
CuO
sebagai
bahan
suspensinya. Das et. al. (2003), meneruskan penelitiannya mengenai konduktivitas termal pada nanopartikel Au yang diukur dengan media air dan toluene. Mansoo
Choi et.al.(2003), penelitiannya tentang konduktivitas termal pada
multiwalled
carbon nanotubes (CNTs). Dengan
memperlakukan CNTs
dan
menggunakan asam
nitrit terkonsentrasi untuk menguraikan kumpulan CNT dalam memproduksi nanofluida CNT. P.E. Phelan
et.al.(2004), menggunakan teknik simulasi dinamika Brownian di dalam
menghitung konduktivitas termal efektif dari nanofluida. Stephen U.S.
Choi
et.al.(2004), menemukan bahwa gerak Brownian dari nanopartikel pada tingkat
skala nano
dan
molekul adalah suatu mekanisme pengatur sifat termal dari nanofluida.
Suatu
permodelan yang komprehensif
telah diusulkan untuk
menjelaskan peningkatan yang besar dari konduktivitas termal di dalam nanofluida dan ketergantungannya akan temperatur,
dimana teori model
konvensional
tidak
mampu untuk
menjelaskannya. Adapun model yang diusulkan tersebut
adalah model partikel diam (stationary particle model), yang menjelaskan
ketergantungan nilai k pada
konsentrasi volume dan ukuran
partikel. Dan model yang kedua adalah model partikel bergerak (moving particle model) yang menjelaskan
bahwa
ketergantungan
yang
kuat
akan
temperatur
pada
medium dihubungkan dengan variasi kecepatan nano
partikel dengan temperatur.
Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan nanofluida dengan
nanopartikel Al2O3 sebagai
media pendinginnya. Dan dengan
menggunakan alat penukar kalor
radiator otomotif yang dipasang pada sebuah terowongan angin (wind tunnel). Konsentrasi nanopartikel yang
dipakai
sebesar
1%
dan
4%.
Pengukuran yang dilakukan
untuk menentukan nilai koefisien
perpindahan kalor konveksi nanofluida
pada
radiator
tersebut dan dibandingkan dengan fluida
dasarnya (air).
Persiapan Nanofluida
Proses
persiapan nanofluida harus menjamin terdispersinya nano partikel dengan baik dalam cairan
dan mekanisme yang baik seperti
pengaturan nilai pH atau
penambahan permukaan katalis untuk mempertahankan kestabilan suspensi
terhadap sedimentasi.
Akibat dari pencampuran nano partikel kedalam fluida
dasar, maka
akan
terbentuk
karakteristik baru pada fluida yang dihasilkan.
Karakteristik yang terbentuk
tergantung pada konsentrasi volume dari
partikel yang tercampur. Para peneliti sebelumnya melakukan penelitian dengan
melakukan variasi konsentrasi
volume dari
partikel dengan perlakuan
yang
berbeda-beda, tergantung proses yang digunakan.
Untuk mencari hasil yang lebih
baik Das et al [2] melakukan pencampuran menggunakan ultrasonic vibration
yang menghasilkan campuran yang partikel
nanonya terdispersi dengan baik.
Dalam persiapan
nanofluida perlu diperhatikan densitas dari partikel nano
untuk mendapatkan perbandingan campuran yang tepat. Digunakan persentase volume untuk
menentukan konsentrasi campuran.
Volume partikel ditentukan dengan menggunakan
densitas
sebenarnya
dari
partikel
nano
dan
massanya dengan mengabaikan massa
udara yang terperangkap didalamnya. Pencampuran
partikel nano kedalam fluida dasar
mengakibatkan
pembentukan
karakteristik
baru terhadap fluida yang
dihasilkan
yaitu nanofluida. Karakteristik yang
terbentuk tergantung dengan fraksi volume dari partikel yang dicampurkan.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan konsentrasi volume
sebesar
1%
dan
4%
nanopartikel Al2O3 dengan ukuran ± 32 nm.
Karena keterbatasan alat modern seperti ultrasonic vibration
maka untuk
pencampuran nanofluida penulis
menggunakan suatu alat pengaduk sederhana dengan batang bersirip yang
diputar
dengan
bantuan
motor
listrik.
Setelah
menentukan nilai
perbandingan campuran, dengan
menggunakan densitas
dari partikel nano dan air, lalu dicampur dengan alat
tersebut
hingga
partikel
tersuspensi merata. Ini dapat dilihat dengan tidak adanya endapan
yang terbentuk setelah campuran
ini
dibiarkan
selama 1 malam. Pada penelitian ini proses
pencampuran dengan pengaduk sederhana
dilakukan selama ± 5 jam.
Alat Uji
Fluida kerja kemudian dialirkan ke tangki preheater sampai keadaan stabil.
Pada tangki utama terdapat
sebuah heater (12)
berdaya 3kW yang terhubungkan
dengan sebuah thermo controller B yang dipasang
pada panel box 2 (16). Thermo
controller B tersebut
juga dihubungkan dengan sebuah termokopel (14) yang
diletakkan pada tangki penampungan tadi.
Fungsi termokopel
tersebut
adalah
untuk memberikan sensor kepada thermo controller. Jika
sensor yang diterima oleh
thermo controller sudah sama dengan
temperatur yang diinginkan, maka thermo controller tersebut akan berhenti mengalirkan tegangan listrik ke heater
sehingga heater 2 (11) pun akan berhenti
memberikan kalor kepada
fluida kerja. Begitu pun juga untuk tangki preheater (6) memiliki thermo controller A di panel box 2 (16) yang dihubungkan dengan termokopel 1 (13) yang cara kerjanya sama
dengan tangki utama. Keseluruhan sistem tersebut dihubungkan pada sebuah
switch on/off yang berada pada
panel box 2 (16).
Fluida kerja yang sudah dipanaskan hingga suhu yang diinginkan kemudian dialirkan melalui sebuah pipa menuju upper tank radiator. Untuk selanjutnya pipa tersebut akan disebut sebagai pipa inlet.
Pada
pipa
inlet dipasangkan sebuah flowmeter turbin (8) yang berfungsi untuk mengetahui debit aliran fluida kerja pada saat memasuki radiator. Untuk pembacaannya, flowmeter turbin (8) tersebut
dihubungkan dengan sebuah
batch controller yang
terpasang pada panel box 1
(15). Fungsi batch controller tersebut adalah
untuk
mengubah
sensor
yang
diterima oleh flowmeter (8) sehingga
dapat ditampilkan secara digital.
Pada
pipa
inlet juga dipasang sebuah
valve
(b)
yang
berfungsi
untuk
menghentikan aliran fluida kerja jika terjadi kebocoran
pada alat uji radiator ini. Ketika valve (b) tersebut ditutup,
fluida cair dari tangki utama (7) tidak ada yang
dapat memasuki sistem sehingga dapat dilakukan perbaikan pada
kebocoran-
kebocoran yang terjadi.
Tepat pada bagian inlet radiator dipasangkan sebuah termokopel (20), begitu juga pada bagian
outlet
radiator
(21).
Kedua
termokopel (20 & 21) tersebut dihubungkan pada data akusisi (17) dan juga display temperatur pada panel box 2
(16). Selama melalui radiator
(10), fluida kerja mengalami penurunan
temperatur akibat adanya udara yang dialirkan melintang melalui sirip-sirip radiator
tersebut. Fluida kerja yang keluar dari radiator akan dibawa kembali ke tangki
preheater melalui pipa (warna biru).
Untuk selanjutnya pipa (warna biru) disebut dengan pipa outlet. Pada pipa outlet terdapat sebuah pompa (1) yang berfungsi untuk memompa
fluida
kerja
dari
radiator
(10)
menuju
ke
tangki
preheater (6). Kemudian fluida
kerja mengalir
menuju
tangki
utama (7) dengan hanya menggunakan
gaya gravitasi. Diantara tangki
preheater
dan
tangki
utama dipasangkan sebuah valve (c) yang berfungsi sebagai
pengatur debit fluida yang
masuk ke tangki utama (7). Pada pipa antara
tangki utama (7) dan upper
tank radiator dipasangkan sebuah valve (b)
yang berfungsi sebagai pengatur debit fluida kerja pada sistem. Semakin kecil bukaan valve (b) maka semakin kecil pula
debit fluida kerja pada sistem ini.
Untuk mengalirkan udara melalui terowongan
udara (2) digunakanlah motor (4) dengan kecepatan putaran maksimum sebesar 3000 rpm. Motor (4) tersebut berfungsi untuk memutar adjustable axial fan (3). Kecepatan
putaran motor diatur menggunakan sebuah dial
variabel yang terdapat
pada panel box 1 (15). Ketika
fan (3) berputar, maka udara akan memasuki
terowongan
udara
melalui sisi sebelah kanan. Pada bagian
inlet wind tunnel dipasangkan
bagian kontraksi dan honey comb (9) yang berfungsi
untuk mengurangi turbulensi dan membuat aliran
udara yang masuk ke terowongan udara lebih seragam
(uniform).
Pada saat akan memasuki radiator (10), kecepatan aliran udara diukur menggunakan hot wire
anemometer.
Pada bagian depan dan belakang radiator juga dipasangi masing-masing satu buah
termokopel (18 & 19). Termokopel ini kemudian
dihubungkan dengan data akusisi (18) dan juga display temperature pada
panel
box
2
(16).
Fungsi
termokopel ini adalah untuk mengetahui
kalor yang akan diambil oleh udara dari
fluida kerja yang berada di dalam radiator.
Prosedur Pengujian
Untuk alat uji ini dilakukan pengujian
dengan variasi data seperti pada Tabel
1. Pengambilan data dilakukan secara
kontinyu pada temperatur inlet
radiator sebesar 50°C-70°C untuk setiap variasi debit air.
Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis fluida
yang terdiri dari fluida air, nanofluida 1%, dan nanofluida 4%. Fluida pertama yang diuji adalah air disusul
nanofluida 1% dan terakhir nanofluida 4%. Setelah penelitian dilakukan terhadap
air, maka untuk penelitian terhadap nanofluida terlebih
dahulu
dilakukan
persiapan pencampuran partikel ini ke fluida
dasar (air). Yaitu
terlebih dahulu volume nanopartikel
yang
diperlukan
ditentukan
dengan menghitung
berat
equivalent dari partikel
dengan menggunakan densitas sebenarnya, di mana Al2O3
= 66.7 gram/liter (dengan mengabaikan massa udara yang terjebak
di dalamnya).
Kemudian melakukan pencampuran
nanopartikel
ke
dalam
fluida
dasar
yang
dalam penelitian ini, penulis
masih menggunakan cara manual.Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui
koefisien perpindahan kalor konveksi dari nanofluida pada aplikasi
radiator. Di dalam pengolahan data, perhitungan koefisien perpindahan
kalor
tersebut akan direpresentasikan oleh koefisien
perpindahan
kalor
menyeluruh.
Fluida dihitung berdasarkan temperatur rata-rata fluida dari alat penukar
kalor. Pertukaran kalor yang melalui dinding akan diabaikan. Kalor yang hilang antara
fluida panas (dalam hal ini air) dan fluida dingin (udara)
dihitung dengan cara sebagai berikut :
•
Nilai koefisien perpindahan kalor keseluruhan dapat dihitung
dengan
menggunakan persamaan dibawah berikut. Dimana
nilai
kalor
yang
akan
digunakan sebagai acuan dalam perhitungan adalah qc karena
menunjukkan kalor yang benar-benar diserap oleh sistem:
q = UAΔTm
(3)
Sementara
ΔTm
pada persamaan 3 adalah Logarithmic Mean Temperature
Difference (LMTD), yaitu sesuatu pendekatan yang digunakan untuk menghitung
perbedaan temperature
yang
terjadi
pada
sebuah
alat
penukar
kalor[11]. Nilai LMTD dapat ditentukan dari temperatur
inlet dan outlet kedua fluida
sebagai berikut :
faktor koreksi
F tersebut didapatkan dengan memplot
nilai P dan
R pada grafik faktor koreksi ([11] , hal. 654) untuk single
pass, alat penukar
kalor aliran menyilang dengan fluida cair tidak tercampur dan
fluida gas (udara) tercampur.
Dengan nilai qc yang didapatkan dari persamaan 2 dan ∆Tm dari persamaan
4, maka dengan korelasi pada persamaan 3 akan didapatkan nilai UA.
Nilai UA
tersebut kemudian
akan dipergunakan dalam persamaan umum 8 hambatan termal pada
alat penukar kalor radiator. Kemudian
untuk mendapatkan nilai h dapat digunakan metoda Wilson Plot
[12]. Nandy
et.al 2005 menjelaskan secara rinci
mengenai penggunaan metode ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
pengukuran koefisien konveksi paksa dari nanofluida 1% dan 4% pada
temperatur
50oC, 60 oC, dan 70 oC ditunjukkan pada Gambar 2 - Gambar 4.
Grafik-grafik tersebut menunjukkan hubungan
koefisien perpindahan kalor konveksi sebagai fungsi bilangan
Reynolds.
Selain itu untuk mengetahui pengaruh dari konsentrasi nano partikel (Al2O3)
hasil pengukuran koefisien konveksi air, nanofluida 1 %(volume) dan nanofluida
4% (volume) ditampilkan pada grafik yang sama untuk setiap temperatur fluida panas yang meningkat.
Dan jika dianalisa
dengan menggunakan teknik permodelan yang ada[13], dalam
hal ini penulis menggunakan model partikel bergerak
(moving particle model). Menurut
teori kinetik partikel[14] dijelaskan bahwa konduktivitas termal
partikel berbanding lurus dengan
kecepatan
rata-ratanya, dan kita ketahui
gerak Brownian dari nano partikel akan semakin cepat dengan kenaikan temperatur, hal ini
dapat
diterangkan dengan
menggunakan rumus Stokes-Einstein. Dari persamaan tersebut dijelaskan bahwa
kecepatan partikel tergantung pada faktor T/μ, dan μ adalah
viskositas dinamik dari medium fluida dan T adalah temperatur.
Dan gerak Brownian dari nano partikel juga tergantung pada faktor T/μ. Karena viskositas nanofluida menurun dengan peningkatan temperatur, maka menyebabkan kecepatan nanofluida akan meningkat, sehingga nilai konduktivitas termal nanofluida akan meningkat. Dengan meningkatnya kecepatan akan juga meningkatkan bilangan Reynoldsnya, sehingga
nilai koefisien perpindahan kalor konveksinya akan semakin
besar.
Dan dengan menggunakan metode partikel diam (stationary particle
model),
juga dapat dianalisa
pengaruh
konsentrasi volume
terhadap
kenaikan
nilai
koefisien perpindahan konveksi. Pada model ini dijelaskan bahwa peningkatan
laju perpindahan kalor adalah berbanding lurus dengan perbandingan
konduktivitas dan fraksi volume
ε dari nano partikel (untuk ε <<1) dan berbanding
terbalik dengan radius nano partikel.
Jadi dari persamaan itu jika nilai konsentrasi
volume naik maka q juga akan naik, hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dari percobaan yang telah
peneliti
lakukan
yaitu
konsentrasi nano partikel sangat mempengaruhi kenaikan
nilai koefisien konveksi. Hasilnya
menunjukkan bahwa secara umum koefisien konveksi akan
meningkat
dengan adanya peningkatan nilai bilangan Reynolds,
namun untuk konsentrasi volume partikel
nano (Al2O3) yang
berbeda akan menunjukkan kecenderungan yang berbeda pula. Dari grafik dapat
dilihat bahwa semakin besar konsentrasi nano
partikel
maka nilai koefisien perpindahan kalor konveksinya akan semakin besar pula,
hal ini berlaku
untuk setiap temperatur. Kenaikan
koefisien konveksi paksa
nano terhadap air berkisar
31-38% pada temperatur
50oC, 36-43% pada temperatur 60oC dan 40-48% untuk
temperatur 70oC pada konsentrasi nano partikel 1% dan mengalami kenaikan 52-
65% pada temperatur
50oC, 59-73%
pada temperatur 60oC dan 65-79% pada
temperatur 70oC untuk nanofluida dengan konsentrasi nano partikel 4%.
Hasil ini menunjukkan bahwa
konsentrasi volume dari nano partikel memegang peranan
penting dalam peningkatan
koefisien
konveksi
yang
terjadi
dan
pengaruhnya
memiliki
kecenderungan berbanding lurus yaitu dengan penambahan konsentrasi
partikel nano maka akan meningkatkan koefisien perpindahan kalor konveksinya.
Pada Gambar 5 dapat
dilihat secara keseluruhan nilai
korelasi bilangan
Nusselt dan Reynolds pada setiap variasi debit fluida panas dan fluida pendingin dan dapat dibuat persamaan sebagai berikut :
Untuk fluida pendingin
nanofluida dengan konsentrasi nano partikel 4%: Nu = 0.035249 Re0.8 Pr0.4 (800 rpm), Nu = 0.04175 Re0.8 Pr0.4 (900 rpm)
Nu
= 0.046225 Re0.8 Pr0.4 (1000 rpm), Nu = 0.048219 Re0.8 Pr0.4 (1100 rpm)
Peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi
ini
akibat
terjadinya
penurunan perbedaan selisih temperatur
rata-rata
logaritmik (LMTD) dengan adanya nano partikel dalam air atau dapat dikatakan juga terjadi peningkatan rasio perpindahan kalor yaitu terlihat
bahwa kalor yang diterima oleh air di tube lebih besar.
Rasio koefisien perpindahan kalor konveksi nanofluida terhadap
air menurut prediksi yang dilakukan
Nandy, 2003 akan meningkat
seiring dengan peningkatan temperatur, dalam penelitian
ini ternyata didapatkan kecenderungan
yang sama, hal
ini digambarkan pada Gambar 6 diatas. Dari
grafik tersebut terlihat
bahwa untuk kenaikan temperatur rasio koefisien perpindahan kalor konveksi
nanofluida dan air untuk nanofluida 1 % dan nanofluida 4% menunjukkan peningkatan yang cukup
besar.
Gambar 6. Rasio
perpindahan kalor konveksi
antara nanofluids dan
air Vs
Temperatur.
Sementara jika melihat
pengaruhnya
dari
peningkatan
debit
udara
(Qc),
bilangan Nusselt fluida panas (Nuh) juga mengalami peningkatan yang sistematis. Hal ini dikarenakan dengan
semakin meningkatnya debit fluida dingin yang melalui sirip-sirip radiator, maka pertukaran
panas
yang
terjadi dari dinding- dinding tube dan sirip-sirip tersebut ke udara yang melaluinya
akan semakin besar pula. Dinding
tube
pun
akan
lebih
cepat
dingin
karena
udara
sebagai
fluida
pendingin lebih cepat
berganti, sehingga
kalor yang dimiliki oleh fluida
panas yang mengalir di dalam tube akan akan lebih cepat dilepaskan ke dinding-dinding
tube yang dilaluinya (laju perpindahan
kalor akan meningkat).
Dengan semakin besarnya
nilai perpindahan
kalor yang terjadi
pada fluida panas akibat kenaikan temperatur, maka nilai perpindahan kalor yang dialami oleh fluida dingin pun akan ikut
meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7,
dimana ketika temperatur inlet fluida panas
semakin besar nilainya
maka nilai koefisien perpindahan
kalor
juga
semakin
meningkat.
Namun
kenaikan
nilai
perpindahan kalor ini tidak sebesar kenaikan akibat perubahan bilangan Reynolds
fluida dingin.
KESIMPULAN
Dari hasil pengolahan data dan analisa
maka dari penelitian ini dapat
disimpulkan :
1. Faktor konsentrasi partikel nano
pada nanofluida sangat mempengaruhi
besarnya peningkatan rasio koefisien
perpindahan kalor konveksi nanofluida terhadap fluida dasarnya
(air).
Semakin besar konsentrasi volume dari partikel nano maka akan
mengakibatkan
rasio
peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi
paksa yang semakin besar.
2. Faktor temperatur nanofluida sebagai fluida kerja, menunjukan
kecenderungan peningkatan rasio koefisien perpindahan kalor konveksi
nanofluida terhadap fluida dasarnya (air) seiring dengan peningkatan temperatur.
3. Pada percobaan yang dilakukan dengan
nanofluida 1%
menunjukan
peningkatan koefisien konveksi
sebesar
31-48%, sedangkan
dengan
menggunakan nanofluida 4% menunjukan peningkatan koefisien konveksi sebesar 52-79%.
4. Kecenderungan peningkatan koefisien perpindahan kalor konveksi
paksa pada nanofluida ini memberikan
peluang
nanofluida
sebagai
fluida
baru
yang dapat digunakan pada aplikasi
industri
khususnya
dalam
bidang
pertukaran kalor.
DAFTAR PUSTAKA
1 Lee S, Choi SU.-S. 1996. Application of Metallic Nanoparticle Suspensions in advanced Cooling
Systems, ASME Publications PVP-Vol. 342/MD-Vol.
72, pp. 227-234.
2 Nanophase Technologies, Romeoville, IL, USA, http://www.nanophase.com.
3 Ahuja AS. 1975.
Augmentation
of
Heat
Transport
in
Laminar
flow
of
Polystyrene Suspension. Experiments and results,
J. Appl. Phys.,
Vol. 46, No. 8, pp.3408-3416.
4 Liu KV, Choi US, Kasza KE. 1988. Measurements of pressure drop and
heat transfer in turbulen pipe flows
of particulate slurries. Argonne National Laboratory Report, ANL-88-15.
5 Choi US. 1995. Enhancing Thermal Conductivity of Fluids with Nanoparticles, Development and Applications
of Non-Newtonian
Flows, D.A. Siginer and H.P. Wang, eds., FED-vol. 231/MD-Vol. 66, ASME, New
York, pp. 99-105.
6 Eastman JA, Choi US, Li S, Thompson LJ, Lee S. 1997. Enhanced thermal conductivity through the development of nanofluids. In: Komarneni,
S.,
Parker, J.C.,
Wollenberger, H.J. (Eds.),
Nanophase
and
anocomposite Materials II. MRS, Pittsburg,
PA, pp. 3-11.
7 Lee S, Choi US, Li S, Eastman JA. 1999. Measuring thermal conductivity of fluids
containing oxide nanoparticles, ASME Journal of Heat Transfer, vol
121, pp. 280-289.
8 Das SK, Putra N, Thiesen P, Roetzel W. 2003. Temperature dependence of thermal conductivity enhancement for nanofluids,
J. Heat Transfer, 125,
567-574.
9 Putra, Nandy, Menentukan koefisien perpindahan kalor konveksi dengan
korelasi Dittus Boelter,
Seminar Nasional Perkembangan
Riset
dan Teknologi di Bidang
Industri Universitas Gajah Mada Yogyakarta 13 Mei
2003.
10 Putra, Nandy, Riki Ferki, Enhancement of force convective
heat transfer in water-based
nanofluids containing Al2O3
nano particle, 3rd International Conference on Heat Transfer, Fluid Mechanics
and
Thermodynamics (HEFAT
2004), Cape Town, South Africa 21-24 June 2004.
11 Incropera, Frank P, David P. Dewitt. 2002, Fundamentals Of Heat and Mass
Transfer,
New York : John Wiley & Sons,
Inc
12 Rose JW, Heat Transfer
coefficients, Wilson plots and accuracy
of thermal measurement,
2003
13 Tien CL, Lienhard JH. Statistical Thermodynamics
(McGraw-Hill
Book
Company,
New York, 1979), revised printing, p. 311.
14 Noviar, S.Fred,
Mengukur koefisien Perpindahan Kalor Kondensasi
Film pada Kondenser Silinder Vertikal
dengan Fluida
Pendingin Nanofluida Al2O3 – Air, Jurnal Teknologi, Fakultas Teknik UI, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar